Search

Jakarta – Fenomena banyaknya tenaga kerja lulusan sarjana (S1) yang kini terpaksa banting setir menjadi asisten rumah tangga (ART), sopir, hingga security kian mencuat. Terlebih di tengah sengitnya persaingan kerja dan badai pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam beberapa tahun terakhir.
Ketua Ikatan SDM Profesional Indonesia (ISPI) Ivan Taufiza mengatakan fenomena ini sebenarnya sudah lama terjadi di pasar tenaga kerja dalam negeri. Bahkan dirinya sudah menemui langsung kasus serupa sejak awal berkarier pada 1995 lalu, alias 30 tahun lalu. Hanya saja waktu itu fenomena ini belum menjadi sorotan.

“Sebenarnya fenomena ini nggak baru di Indonesia. Jadi sejak saya pertama kerja tahun 1995, itu security saya S2. Serius nih, saya kerja di oil company itu security saya itu S2 lulusan sastra Inggris UGM,” kata Ivan kepada detikcom, Selasa (24/6/2025).

Menurut Ivan penyebab utama munculnya fenomena ini adalah proporsi supply dan demand di pasar tenaga kerja Indonesia yang sangat timpang alias. Di mana jumlah angkatan kerja atau supply jauh lebih besar dari kebutuhan tenaga kerja atau demand. Sehingga ijazah S1 sebagian besar hanya menjadi salah satu cara untuk menyaring kandidat secara administrasi dengan lebih mudah.

“Akar permasalahan itu bukan di ijazahnya laku atau nggak. Karena supply sama demand yang nggak seimbang. Jadi banyak supply-nya daripada demand-nya. Ijazah itu dipakai, saya bilangnya buat memotong kandidat,” papar Ivan.

“Tapi kalau di negara-negara yang supply sama demand kerjanya terbalik, jadi saya ambil yang ekstrim di Qatar gitu ya, itu permintaan tenaga kerjanya jauh lebih tinggi daripada supply-nya. Dia nggak pengaruh-pengaruh amat ijazah. Karena yang penting ada orang yang mau kerja, bisa kerja, selesai,” sambungnya.

Belum lagi menurutnya sekarang ini mulai banyak perusahaan di Indonesia, khususnya di perusahaan multinasional, yang tidak lagi melihat lulusan sarjana tertentu sebagai syarat utama dalam menerima pekerja. Alih-alih, para pemberi kerja ini cenderung hanya membutuhkan mereka yang mampu bekerja dengan baik di bidang tertentu.

“Tapi kalau di negara-negara yang supply sama demand kerjanya terbalik, jadi saya ambil yang ekstrim di Qatar gitu ya, itu permintaan tenaga kerjanya jauh lebih tinggi daripada supply-nya. Dia nggak pengaruh-pengaruh amat ijazah. Karena yang penting ada orang yang mau kerja, bisa kerja, selesai,” sambungnya.

Belum lagi menurutnya sekarang ini mulai banyak perusahaan di Indonesia, khususnya di perusahaan multinasional, yang tidak lagi melihat lulusan sarjana tertentu sebagai syarat utama dalam menerima pekerja. Alih-alih, para pemberi kerja ini cenderung hanya membutuhkan mereka yang mampu bekerja dengan baik di bidang tertentu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *