Jakarta – Tren hanya mengandalkan ijazah S1 untuk mendapat pekerjaan formal mulai ditinggal. Kondisi ini terlihat dari cukup banyaknya lulusan sarjana yang kini harus beradu nasib sebagai ART hingga sopir karena tak kunjung mendapatkan pekerjaan.
Ketua Ikatan SDM Profesional Indonesia (ISPI) Ivan Taufiza mengatakan penyebab terjadinya fenomena ini adalah proporsi supply dan demand di pasar tenaga kerja Indonesia yang sangat timpang alias. Di mana jumlah angkatan kerja atau supply jauh lebih besar dari kebutuhan tenaga kerja atau demand.
Sehingga sekarang ini ijazah S1 sebagian besar hanya menjadi salah satu cara untuk menyaring kandidat secara administrasi dengan lebih mudah. Karena setiap kali perusahaan membuka lowongan, terlalu banyak pelamar yang mengajukan diri.
“Akar permasalahan itu bukan di ijazahnya laku atau nggak. Karena supply sama demand yang nggak seimbang. Jadi banyak supply-nya daripada demand-nya. Ijazah itu dipakai, saya bilangnya buat memotong kandidat,” papar Ivan kepada detikcom, Selasa (24/6/2025).
Alih-alih ijazah akademis, Ivan mengatakan saat ini banyak HRD lebih mencari kandidat yang memiliki ‘ijazah’ lain berupa sertifikasi keahlian tertentu. Sebab melalui sertifikasi tersebut para pemberi kerja dapat melihat bahwa kandidat memiliki kompetensi teknis di bidang-bidang pekerjaan yang sedang dicari.
“Saya nggak bilang ijazah akademis itu nggak penting, nggak. Tapi tadi, karena kondisi pasar yang tidak seimbang antara supply dengan demand tenaga kerja. Artinya kandidat perlu nilai tambah, nilai plus,” ucap Ivan.
“Sebaiknya memang dimulailah ambil tadi ijazah atau sertifikat yang teknis, yang spesialis. Jadi misal yang tadi saya bilang yang namanya sertifikat untuk robotik gitu ya, sertifikat untuk coding. Nah, itu tetap laku kalau yang itu,” jelasnya lagi.
Belum lagi jika perusahaan yang dilamar merupakan perusahaan multinasional, di mana banyak perusahaan ini yang hanya membutuhkan mereka yang mampu bekerja dengan baik di bidang tertentu. Sehingga sehingga mereka tidak lagi melihat lulusan sarjana tertentu sebagai syarat uatama dalam menerima pekerja.
“Company yang menerima karyawan tanpa melihat ijazah sudah banyak di Indonesia. Kebetulan mayoritas ya perusahaan multinasional. Karena itu kebijakan dari kantor pusatnya di luar negeri. Jadi dia pokoknya lulus tes, ya sudah nggak peduli kamu S2, S3 nggak peduli,” pungkasnya.
Hal senada juga disampaikan oleh Pengamat Ketenagakerjaan UGM, Tadjudin Noor Effendi. Menurutnya sekarang ini para pekerja sudah tidak bisa mengandalkan ijazah untuk mencari pekerjaan. Untuk itu diperlukan sertifikasi keahlian tertentu guna menunjukkan keahlian yang dimilikinya.
“Sertifikasi itu kan bukan menampakkan hanya kata-kata, tapi itu kan menunjukkan ada keahliannya. Skillnya Itu mempermudah juga mereka untuk masuk ke bidang-bidang yang dibutuhkan oleh perusahaan. Tidak hanya lantaran lulusan SMA, nggak ada skillnya itu, nggak ada nilai plusnya kan. Sarjana lulusan apa gitu nggak ada nilai plusnya,” terangnya.
Sebagai contoh, menurut Tadjudin salah satu sertifikasi yang paling banyak dicari saat ini adalah yang berkaitan dengan bidang IT di sektor tertentu. Misalkan saja IT di sektor keuangan, telekomunikasi, hingga industri.
“Pelatihan yang berkaitan dengan IT yang sekarang sangat dibutuhkan di pasar kerja. IT dalam bidang apapun baik itu keuangan, telekomunikasi, industri, segala macam Itu. sekarang sangat dibutuhkan karena perkembangan teknologi terutama di sektor industri itu sangat pesat,” jelas Tadjudin.
Untuk itu dirinya sangat menyayangkan bagaimana sekarang ini lembaga-lembaga pelatihan dan sertifikasi keahlian tertentu belum cukup banyak dan berkembang di Indonesia karena berbagai hal. Padahal lembaga inilah yang dapat sangat membantu para pencari pekerja untuk bisa mendapatkan lowongan.
“Tapi training itu yang juga belum berkembang. Karena tidak mudah juga membuat training. Karena membutuhkan dana yang cukup besar, terutama untuk memenuhi kebutuhan latihan. Ini kan dibutuhkan berbagai macam alat untuk menumbuhkan skill mereka,” katanya.
“Jadi kalau cuman katakan training tapi hanya membuat mur sama baut kan nggak ada gunanya. Harusnya kan yang benar-benar bermanfaat bagi pasar kerja,” ucap Tadjudin lagi.